15 Pertimbangan Kartografis untuk Membuat Peta yang Estetik dan Profesional

Sadd Hussein
29 min readApr 10, 2022

--

Beberapa saat yang lalu saya bertemu dengan bulik saya yang bekerja sebagai PNS di Dinas Kebudayaan di sebuah provinsi di Indonesia.

Beliau menceritakan kesulitannya ketika sekarang mendapat tugas membuat peta di kantornya.

Sebagai lulusan Sastra Inggris (kalau tidak salah), beliau curhat betapa berjuangnya saat harus membuat peta dan harus ngutak-atik ArcGIS, serta berjibaku dengan istilah-istilah yang tidak dia mengerti.

Di waktu yang lain, saya bertemu dengan seorang kenalan.

Dia bercerita telah mengikuti pelatihan SIG dan bisa membuat peta.

Dia mengaku, secara teknis dia memang bisa membuat peta.

Tapi, untuk membuat peta bisa menyampaikan informasi secara efektif, serta harus juga tampil cantik, itu lain soal.

Mungkin itu juga dialami oleh banyak orang yang belajar secara otodidak atau belajar singkat melalui kursus.

Mungkin kamu juga.

Terinspirasi dari cerita itu, saya menuliskan artikel ini.

Artikel ini akan sangat panjang (+7000 kata), berisi pengetahuan dan pengalaman saya dalam membuat peta selama ini.

Nah, sebelum masuk ke poin-poin pertimbangan sesuai dengan kaidah kartografis, mari kita mulai dengan yang paling dasar.

https://geospasialis.com/wp-content/uploads/2021/05/pexels-leah-kelley-3935702.jpg

Apa itu peta?

Secara teoritis, peta adalah suatu penyajian (gambaran) unsur-unsur atau kenampakan nyata yang dipilih di permukaan bumi atau benda angkasa, atau kenampakan abstrak yang ada kaitannya dengan permukaan bumi atau benda angkasa, dan pada umumnya digambar pada suatu bidang datar dan diperkecil (diskalakan).

Terdapat empat aspek penting dalam peta :

  1. Kenampakan abstrak — simbol
  2. Dipilih — generalisasi
  3. Digambar pada bidang datar — proyeksi
  4. Diperkecil — skala

Peta merupakan representasi dan atau abstraksi dari realita objek/ fenomena geografi.

Peta merupakan produk utama dalam analisis spasial yang menampilkan data yang akurat.

Maka, pembuatan peta setidaknya harus memenuhi dua syarat:

  1. Sesuai dengan data yang ditampilkan, baik informasi posisi dan informasi tematiknya.
  2. Bermanfaat bagi penggunanya

Pertanyaannya:

Bagaimana menggambarkan realita geografi sesuai dengan data yang ada, sekaligus sesuai dengan keinginan dan kebutuhan pengguna peta?

Untuk menjawab pertanyaan itu, tulisan ini akan menjelaskan beberapa pertimbangan-pertimbangan yang harus diperhatikan dalam proses penyajian data dalam pembuatan peta.

Meski demikian, tulisan ini hanya akan membahas tahap penyajian data dan tidak membahas tahap pengumpulan data dan analisis data.

Pertimbangan dalam membuat peta

Berdasarkan pengalaman dan pengetahuan saya, saya merangkum hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan peta, yaitu:

  1. Tujuan peta
  2. Pengguna peta
  3. Media peta
  4. Batas area yang dipetakan
  5. Skala peta
  6. Sistem proyeksi
  7. Pemilihan data dan layer peta
  8. Pemilihan fitur yang akan ditampilkan (Cartographic selection)
  9. Generalisasi (Cartographic generalization)
  10. Klasifikasi data (Cartographic classification)
  11. Simbolisasi (Cartographic symbolization)
  12. Toponim dan label
  13. Elemen peta
  14. Informasi tambahan
  15. Layout dan Desain peta

Lumayan banyak ya?

Sadar atau tidak sadar, kita pasti telah mempertimbangkan faktor-faktor di atas saat menyusun sebuah peta.

Pertanyaan selanjutnya adalah, sudahkah kita mempertimbangkan semuanya?

Mari kita cek satu- persatu.

1. Tujuan peta

Hal pertama yang harus diidentifikasi adalah apa tujuan pembuatan peta tersebut.

Peta dibagi menjadi:

  1. general purpose map, dan
  2. special purpose map.

General purpose map

Peta jenis ini adalah peta yang menyediakan basis geografis dan memiliki alasan fungsional.

Misalnya, peta kota akan dipertimbangkan “tujuan umum.”

Kita dapat menggunakan peta kota untuk menemukan arah dari rumah ke masjid, atau kita dapat menggunakannya untuk menentukan jarak antara rumah dan departemen pemadam kebakaran terdekat.

Tujuan dari peta semacam itu adalah untuk menyediakan data referensi yang lengkap.

Beberapa peta tujuan umum yang paling rinci adalah peta topografi, yang menggambarkan lokasi dasar kenampakan medan di permukaan bumi, termasuk transportasi, hidrografi, kenampakan budaya, dan ketinggian.

Peta topografi seperti “kamus geografis”.

Mereka menekankan posisi dan lokasi geografis, serta akurasi planimetrik.

Contoh dari peta jenis ini adalah Peta Rupa Bumi Indonesia yang diterbitkan oleh Bakosurtanal (sekarang BIG).

https://3.bp.blogspot.com/-https://3.bp.blogspot.com/-m8p8gEUTVGU/W6VRgLVCoyI/AAAAAAAACek/m74CojCFfrkE4nNWAx-mzeVny5UfjLMKACLcBGAs/s400/Peta%2BRBI%2B25.000%2BNLP%2B1408-522%2BNgablag.jpgm8p8gEUTVGU/W6VRgLVCoyI/AAAAAAAACek/m74CojCFfrkE4nNWAx-mzeVny5UfjLMKACLcBGAs/s400/Peta%2BRBI%2B25.000%2BNLP%2B1408-522%2BNgablag.jpg

Special purpose map

Akan tetapi, tidak semua peta sangat memperhatikan posisi, lokasi, dan keakuratan data peta dasar.

Peta tujuan khusus atau -special purpose map- dibuat untuk menunjukkan distribusi suatu tema, seperti karakteristik suatu populasi atau penggunaan lahan.

Berbeda dengan “kamus”, peta tujuan khusus mungkin paling baik dianggap sebagai “esai geografis”.

Seperti potret yang bagus, visualisasi tujuan khusus dapat dengan cepat menceritakan sebuah cerita tanpa perlu kata-kata.

Dengan mengambil data tabel dan mengilustrasikannya di atas peta melalui lokasi, pembaca peta dapat menafsirkan data lebih cepat dan lebih mudah daripada jika mereka melihat angka.

Contoh peta tujuan khusus: peta sebaran Covid-19

https://geospasialis.com/wp-content/uploads/2021/05/image-14.png

Tujuan peta yang akan dibuat sangat menentukan faktor-faktor lainnya.

Saat tujuan peta sudah ditentukan, banyak pertanyaan yang kemudian muncul.

Siapa yang akan membaca dan menggunakan peta tersebut?

Di mana dan bagaimana peta akan ditampilkan?

Area mana saja yang akan masuk dalam peta?

Informasi apa saja yang harus muncul?

Di bawah ini adalah contoh bahwa perbedaan tujuan peta dapat memengaruhi kenampakan dan simbol peta.

https://geospasialis.com/wp-content/uploads/2021/05/image-17.png

Peta sebelah kiri bertujuan untuk komunikasi data, sedangkan sebelah kanan bertujuan untuk mendukung analisis data.

2. Pengguna peta

Setelah tujuan peta ditentukan, selanjutnya, pertimbangkan siapa pengguna atau pembaca petanya.

Kita sebagai pembuat peta harus mengetahui atau setidaknya menerka calon pembaca atau pengguna peta kita.

Pembaca dan pengguna peta akan menentukan kompleksitas informasi dan tampilan petanya.

Semakin awam pembaca peta, maka peta perlu dibuat semakin sederhana, baik kedalaman informasi maupun kompleksitas tampilannya.

Membuat peta yang akan digunakan oleh seorang surveyor berpengalaman untuk kegiatan lapangan tentunya akan berbeda dengan peta yang akan digunakan untuk sosialisasi ke masyarakat atau peta untuk media pembelajaran di sekolah dasar.

3. Media peta

Kita harus mempertimbangkan apakah peta tersebut hanya akan dibaca di layar monitor, atau akan dicetak.

Jika akan dibaca di layar monitor PC, laptop atau HP, pertimbangkan nilai DPI saat melakukan proses eksport petanya.

Nilai DPI ini juga harus diperhatikan juga saat akan membuat export peta untuk dicetak. Untuk keperluan ini, ukuran resolusi 300 dpi seharusnya sudah cukup bagus.

Jika peta akan dicetak, ukuran cetaknya harus kita perhatikan.

Pertimbangan-pertimbangan berbeda harus dilakukan saat membuat dan mendesain peta yang akan dicetak di poster ukuran A3 atau akan dijadikan pajangan di dinding dengan ukuran A0, dibandingkan dengan peta yang akan masuk dalam deskripsi area kajian dalam proposal penelitian, atau dalam atlas dan buku.

4. Batas area yang dipetakan

Penentuan batas area yang dipetakan dilakukan dengan mempertimbangan tujuan petanya.

Penentuan batas area yang dipetakan bukan merupakan hal yang sulit.

Biasanya, ketika tujuan peta sudah jelas, maka batas area yang dipetakan sudah bisa ditentukan.

Misal, peta dengan tujuan memperlihatkan sebaran hidrant di kota Surabaya, maka batas area yang dipetakan sudah jelas, yaitu kota Surabaya.

Setelah batas area sudah ditentukan, maka selanjutnya kita bisa menentukan skala peta yang akan kita buat.

5. Skala peta

https://surveyanyplace.com/wp-content/uploads/graphic-map-scale.png

Skala dapat dimaknai sebagai perbandingan ukuran di peta dengan ukuran sebenarnya di dunia nyata.

Skala peta berhubungan langsung dengan luas area yang dipetakan.

Semakin besar skala peta, maka area peta kecil, sehingga informasi yang ditampilkan haruslah detil.

Sebaliknya, peta dengan skala kecil menunjukkan area yang besar dengan informasi yang lebih umum.

Hal penting yang seringkali dilupakan atau dengan sengaja diabaikan terkait skala peta adalah:

  1. Sebagai pembuat peta, kita harus benar-benar selalu sadar dengan skala peta output dan harus selalu mempertimbangkan skala data input yang akan kita tampilkan dalam peta.
  2. Kita harus selalu sadar bahwa skala data-data yang menjadi input peta bisa jadi berbeda-beda sehingga perlu penyeragaman skala data input menyesuaikan skala output peta kita.

Jika peta output berskala besar sedangkan data diambil pada skala yang kecil, maka peta akan memiliki informasi yang kurang detil dan banyak informasi yang hilang.

Untuk mengatasi hal ini, kita perlu mencari data baru dari sumber lain.

Atau jika tidak ada, maka kita harus menyesuaikan skala peta output, atau dengan melakukan kompromi sampai sejauh mana data tersebut dapat ditampilkan dengan seimbang.

Maksudnya seimbang adalah antara kedalaman informasi dan tampilan datanya.

Bagaimana jika peta output berskala kecil sedangkan data input berskala besar?

Jika peta output berskala kecil dan data berskala besar, biasanya layer-layer di peta akan menjadi tumpang tindih dan menjadi sulit untuk dibaca.

Bagaimana mengatasi hal tersebut?

Penjelasannya ada di bagian selanjutnya di tulisan ini.

Teruskan membaca!

6. Sistem proyeksi, datum dan sistem koordinat

Sebagian besar peta di Indonesia yang saya lihat, dibuat dalam sistem proyeksi UTM (Universal Transverse Mercator), dengan system koordinat metric, maupun geograpfik (lat lon) dan datum WGS 1984.

Bisa jadi hal ini terjadi karena merujuk pada peta dasar resmi yang digunakan di Indonesia yaitu peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) yang diterbitkan oleh BIG (dulu Bakosurtanal) yang menggunakan sistem proyeksi dan sistem koordinat tersebut.

Hal ini juga terjadi karena banyak training dan kursus GIS yang langsung menginstruksikan peserta pelatihannya untuk menggunakan sistem proyeksi, datum dan sistem koordinat tersebut secara default.

Untuk area yang lebih luas dan skala peta kecil, biasa digunakan system koordinat geofrafik yang menggunakan system lintang-bujur dalam derajat-menit-detik.

Untuk keperluan kegiatan lapangan atau pengukuran, peta dibuat dalam system koordinat metrik, karena lebih mudah pembacaannya di lapangan.

Prinsip ini tidak masalah jika memang system proyeksi yang digunakan sudah sesuai dengan tujuan peta dibuat.

Tetapi, kita harus selalu sadar bahwa system proyeksi dan system koordinat “default” tersebut tidak bisa selalu tepat untuk dipakai dalam semua keperluan.

Di sinilah kemudian pengetahuan mengenai proyeksi peta menjadi penting.

Berikut beberapa contoh daerah yang sama namun dipetakan dengan menggunakan proyeksi yang berbeda.

https://www.joaoleitao.com/wp-content/uploads/2019/04/world-map-projections-1024x903.jpg

Untuk lebih memahami soal proyeksi, silahakan tonton video dari Vox berikut ini: Why all map are wrong.

7. Pemilihan data dan layer peta (perhatikan skala dan level detilnya!)

Pemilihan data dan layer apa saja yang akan ditampilkan di dalam peta dipengaruhi oleh tujuan, pembaca dan media peta.

Sebagai contoh, kita bandingkan peta situasi taman nasional yang akan dicetak dan ditempel di dinding dengan peta situasi area kajian yang terdapat pada paper di jurnal ilmiah.

Peta pertama bertujuan memberikan gambaran umum secara utuh kepada tamu atau pengunjung taman nasional.

Sedangkan peta kedua bertujuan memberikan informasi terhadap pembaca artikel ilmiah.

Peta pertama dicetak dalam ukuran A0 dan peta kedua dicetak dalam ukuran 5x8 cm di atas kertas.

Berdasarkan tujuan, pembaca dan media petanya, peta pertama seharusnya dapat memberikan informasi yang lebih kaya daripada peta kedua sehingga layer data yang ditampilkan mestinya lebih banyak.

Pertanyaannya, informasi atau layer apa sajakah yang sebaiknya dimunculkan di peta?

Setidaknya, ada tiga jenis layer yang dapat muncul dalam sebuah peta.

Layer utama

Yaitu layer yang memuat informasi yang menjadi tema utama peta, terutama jika peta tersebut adalah peta tematik.

Misal, peta yang bertujuan untuk menunjukkan sebaran pemilih dalam pemilu presiden maka layer yang menunjukkan sebaran pemilih menjadi layer utama.

Layer dasar

Layer dasar merupakan layer yang memuat informasi dasar yang menunjukkan lokasi dan konteks peta.

Beberapa contoh layer dasar adalah:

  • Batas pulau dan laut
  • Batas administrasi (negara, provinsi, kabupaten, kecamatan, desa)
  • Sungai dan jalan
  • Toponim (informasi penamaan objek)

Layer-layer ini bisa semuanya ditampilkan.

Atau dapat dipilih satu atau beberapa saja.

Layer pelengkap

Layer ini memberikan informasi tambahan pada peta kita yang bertujuan untuk membuat pembaca peta mendapatkan informasi yang lebih jelas atau informasi tambahan yang akan sangat mendukung proses pembacaan peta.

Saya beri contoh.

Katakanlah saya sedang mempersiapkan peta destinasi wisata di Kota Jogja.

Saya tampilkan layer utama berupa titik tujuan wisata dan layer dasar berupa jalan (beserta namanya), sungai, serta nama-nama tempat.

Peta tersebut akan lebih berharga bagi penggunanya jika saya masukkan juga layer informasi pelengkap. Misalnya, sebaran halte bus dan sebaran ATM.

Pemilihan layer peta ini menjadi sangat penting.

Ketiadaan satu layer saja bisa jadi akan membuat peta kita menjadi tidak dapat dibaca atau tidak berharga.

Sebaliknya, terlalu banyak layer yang dimunculkan juga dapat berpotensi membuat peta menjadi terlalu crowded dan sulit untuk dibaca.

Perhatikan juga skala dan level detil dari data kita.

Data yang baik biasanya memuat informasi skala data di metadata-nya.

Kalau tidak ada, informasi ini dapat dicari pada user manual atau informasi yang tercantum di web penyedia data.

Jika tidak ada, kita dapat langsung membuka datanya dan melakukan assessment langsung terhadap data tersebut.

Proses ini memang tidak akan membuat kita mengetahui secara persis informasi skala data kita, namun kita bisa melihat gambaran seberapa detil data yang kita miliki.

Jadi, pertimbangkan baik-baik informasi apa saja yang akan dimunculkan dalam peta kita.

Jangan lupa juga perhatikan skala dan level detil data yang akan kita gunakan dalam peta kita.

Abstraksi kartografik

Empat poin yang harus diperhatikan selanjutnya merupakan proses abstraksi kartografik.

Abstraksi kartografik merupakan proses transformasi data geografis menjadi representasi grafis fitur dan atribut yang relevan sesuai dengan tujuan peta dibuat.

Proses abstraksi kartografik terdiri atas:

  • Cartographic selection
  • Cartographic generalization
  • Cartographic classification
  • Cartographic symbolization

Empat proses ini bukan proses yang berurutan lalu selesai, namun biasanya dilakukan secara bersamaan atau acak dan berulang sesuai dengan kebutuhan dan kebiasaan kita sebagai pembuat peta.

8. Pemilihan fitur yang akan ditampilkan (Cartographic selection)

Proses ini merupakan penentuan detail level sebuah kenampakan atau fitur yang akan tampil di peta kita.

Proses ini berbeda dengan pertimbangan yang kita lakukan pada poin 7 di tulisan ini.

Jika poin tersebut merujuk pada “kenampakan apa saja”, proses pada poin ini merujuk pada “seberapa detail kenampakannya”.

Proses pemilihan fitur ini sangat berkaitan dengan tujuan dan skala peta.

Saya beri contoh.

Katakanlah kita memiliki data jalan dengan berbagai tingkatan klasifikasi, yaitu Jalan arteri, Jalan kolektor, Jalan lokal, Jalan lain, dan Jalan setapak.

Pada peta skala besar, semua kelas jalan dapat kita tampilkan dengan baik.

Namun, semakin kecil skala peta, atau semakin luas daerah yang kita tampilkan, maka kelas jalan yang tampil hanya kelas jalan yang general saja.

Misal pada pemetaan level pulau, kelas jalan yang ditampilkan cukup jalan arteri saja.

Proses dan logika yang sama dapat diaplikasikan pada fitur administrasi dengan level data yang bertingkat, mulai dari nama kampong, desa, kecamatan, kabupaten dan provinsi.

Berikut adalah salah satu contoh pengaplikasian proses ini.

https://www.e-education.psu.edu/geog160/sites/www.e-education.psu.edu.geog160/files/image/Chapter03/Population.gif

Gambar sebelah kiri menunjukkan kota dengan populasi > 20.000, sedangkan sebelah kanan hanya menunjukkan kota dengan jumlah penduduk > 500.000.

Proses pemilihan ini juga disebut dengan istilah database generalization.

9. Generalisasi (Cartographic generalization)

Generalisasi merupakan proses reduksi informasi, biasanya terkait dengan kenampakan grafis fitur yang kita petakan.

Seperti yang telah diketahui, peta merupakan representasi kenampakan geografis yang diskalakan.

Setiap kenampakan di peta diperkecil untuk dapat digambarkan.

Konsekuensinya, pasti ada informasi yang hilang.

Kita harus bisa memastikan bahwa informasi yang hilang itu tidak mengurangi nilai dari peta yang kita buat.

Proses generalisasi dilakukan agar peta tidak tampak ruwet atau crowded.

Level generalisasi harus disesuaikan dengan skala peta kita.

Sebagai pedoman mudah, perhatikan penjelasan berikut.

Jika kenampakan fitur dalam peta kita terlihat saling menumpuk dan bersinggungan (padahal seharusnya tidak), maka data kita terlalu detil untuk skala tersebut dan perlu dilakukan generalisasi.

Jika garis dalam peta kita terlihat patah-patah, maka data kita terlalu “general” dan perlu didetilkan.

Untuk fitur berupa area, pedoman yang bisa digunakan adalah dengan menggunakan MMU atau Minimum Mapping Unit.

MMU secara mudah dapat diartikan sebagai ukuran polygon terkecil yang dapat tampil di peta.

Ketentuan umum yang biasa digunakan untuk MMU adalah sebesar 0,2x0,2 mm di peta.

Menggunakan aturan ini, polygon-poligon yang memiliki luas kurang dari MMU dapat dihilangkan, sehingga peta lebih mudah untuk dibaca.

Proses generalisasi dan “pendetilan” ini tentu bisa kita lakukan, tetapi alternatif paling mudah adalah dengan mengganti atau mencari data dengan skala dan level detil yang sesuai dengan skala dan tujuan peta kita.

Selain “hilang” atau menjadi lebih umum kenampakannya, proses generalisasi juga dapat membuat sebuah kenampakan bergeser.

Tidak ada generalisasi yang “sempurna” atau bahkan “optimal”. Namun, ada enam tujuan filosofis mendasar yang harus menginformasikan dan mendorong semua jenis generalisasi:

  1. Mengurangi kompleksitas peta / database
  2. Menjaga akurasi spasial data peta
  3. Menjaga keakuratan atribut data peta
  4. Menjaga kualitas estetika peta
  5. Mempertahankan hierarki logis elemen peta
  6. Secara konsisten menerapkan aturan generalisasi

Ada 12 transformasi fundamental yang dapat digunakan untuk menggeneralisasi visualisasi data spasial pada peta, yaitu:

  • Simplification
  • Smoothing
  • Aggregation
  • Amalgamation
  • Merge
  • Collapse
  • Refinement
  • Typification
  • Exaggeration
  • Enhancement
  • Displacement
  • Classification

Untuk lebih jelas mengenai generalisasi, perhatikan gambar berikut.

https://geospasialis.com/wp-content/uploads/2021/05/image-9.png

Saya berikan penjelasan singkat sebagai berikut:

Simplification merupakan penghapusan informasi yang tidak perlu.

Smoothing menggeser dan menghilangkan titik-titik di sepanjang jalur untuk meningkatkan kualitas estetika.

Merging sangat penting untuk menggabungkan dua garis sejajar dengan skala yang diperkecil menjadi satu (misalnya, dua tepi sungai menjadi satu garis yang mewakili keseluruhan sungai).

Exageration dan Enhacement adalah dua operator yang benar-benar menonjolkan fitur-fitur tertentu untuk mempertahankan signifikansinya dalam pengurangan skala.

Proses ini Ini mungkin penting jika teluk atau fitur mendetail lainnya seperti bentuk halaman bangunan secara tidak sengaja disederhanakan atau hilang karena perubahan skala.

Selanjutnya displacement, di mana fitur sengaja digeser terpisah untuk mencegah penggabungan di bawah pengurangan skala. Displacement dilakukan terutama untuk fitur garis, tetapi ada juga yang lain untuk fitur titik dan area.

Aggregation menggabungkan beberapa fitur titik bersama (mis., Pohon individu) untuk membuat fitur areal (mis., hutan).

Di sepanjang garis yang sama, Amalgamation menggabungkan beberapa poligon yang lebih kecil menjadi satu poligon yang lebih besar.

Sedangkan operator Collapse melakukan hal sebaliknya, mengurangi area menjadi fitur titik.

Refinement dan Typification adalah operasi yang membuat representasi simbolis skala kecil dari sekumpulan fitur.

Terakhir, mengenai Classification, akan saya jelaskan pada sub bab terpisah di bawah ini.

10. Klasifikasi data (Cartographic classification)

Klasifikasi dilakukan dengan melakukan pengurutan, pengumpulan dan pengelompokan yang menyederhanakan fitur beserta atributnya.

Proses ini bertujuan untuk dapat menangkap dan hanya menyajikan informasi inti atau informasi utama dari data sesuai dengan tujuan peta.

Contoh dari proses ini adalah proses penggabungan kelas-kelas penggunaan lahan menjadi kelas-kelas yang lebih umum. Misal kelas Sawah irigasi dan Sawah tadah hujan menjadi kelas Sawah.

Konsekuensi dari proses ini adalah hilangnya detil informasi, namun sebaliknya, membuat informasi semakin mudah dipahami.

https://geospasialis.com/wp-content/uploads/2021/05/image-10.png

Beberapa panduan yang bisa digunakan dalam proses klasifikasi data dalam pembuatan peta adalah:

Sesuaikan kembali dengan tujuan, pembaca dan media peta.

Sekali lagi, peta merupakan alat komunikasi.

Untuk menyampaikan informasi yang efektif, kita harus selalu mempertimbangkan untuk apa kita melakukan komunikasi (tujuan peta), kepada siapa kita akan menyampaikannya (pembaca atau pengguna peta) dan bagaimana bentuk penyampaian kita (media peta)

Pastikan kita memahami fenomena yang akan kita petakan.

Semakin kita memahami apa yang kita petakan, maka semakin akurat peta kita merepresentasikan data dan menyampaikan informasi.

Saya menyarankan untuk mempelajari benar-benar data peta kita, termasuk menggali informasi lain yang terkait dengan peta yang kita buat.

Jika kita belum memahami fenomena yang kita petakan, saran saya adalah berdiskusilah dengan ahlinya.

Jika tidak memiliki akses untuk itu, sementara Google adalah temanmu.

Range data dan distribusi data kita.

Selanjutnya, lihat nilai terendah dan tertinggi yang dimiliki data kita.

Lihat range datanya, juga lihat distribusi datanya.

Dua hal ini bisa jadi akan membantu menentukan keberhasilan proses klasifikasi kita.

Pastikan data terklasifikasi sempurna.

Pastikan data terklasifikasi sempurna. Tidak ada nilai overlap atau gap antar kelas.

Adanya gap antar kelas akan menimbulkan kebingungan terhadap suatu nilai yang berada di gap tersebut, akan dibaca masuk ke kelas bawah atau kelas yang ada di atasnya.

Jumlah kelas harus tepat.

Jumlah kelas yang terlalu besar akan membuat peta sulit dibaca, jumlah terlalu sedikit akan membuat banyak detil informasi akan hilang.

Secara teknis, tahapan untuk melakukan klasifikasi data adalah dengan menentukan:

  • Jumlah kelas
  • Interval kelas
  • Batas atas dan batas bawah kelas

Mari kita bahas dulu bagaimana menentukan jumlah kelas.

Penentuan jumlah kelas paling umum digunakan adalah dengan Rumus Sturges.

Rumus ini megatakan bahwa jumlah kelas bergantung pada jumlah observasi pada datanya.

Jumlah kelas menurut rumus ini adalah:

2n < x < 2n+1

Dengan x = jumlah observasi

Dan n = jumlah kelas.

Perhatikan contoh berikut.

Saya akan membuat peta berdasarkan jumlah provinsi di Indonesia.

Jumlah pengamatan (x) = 34 provinsi, maka jumlah kelas adalah

(25 = 32) < 34 < (26 = 64).

Jadi jumlah kelas yang tepat menurut rumus Sturges adalah 5–6 kelas.

Selanjutnya, kita tentukan interval dan batas bawah dan batas atas setiap kelas.

Beberapa metode yang sering digunakan adalah:

  • Equal interval,
  • Natural break
  • Quantile
  • User defined

https://geospasialis.com/wp-content/uploads/2021/05/image-11.png

Lihat gambar di atas.

Data tersebar dengan tidak merata dengan nilai terkecil 10 dan tertinggi sebesar 85.

Equal interval dihitung dengan menentukan interval kelas yang sama.

Dalam contoh tersebut, interval yang dipakai adalah 15 unit, sehingga data terbagi menjadi lima kelas yaitu 10–25, >25–40, >40–55, >55=70 dan >70–85.

Konsekuensinya, jumlah data pada setiap kelas bisa berbeda.

Quantile mengasumsikan adanya jumlah data yang sama pada setiap kelas.

Contoh di atas membagi dengan menggunakan 4 jumlah observasi pada setiap kelas. Angka ini didapatkan dari 20 data observasi/ 5 kelas = 4 observasi per kelas.

Hasilnya, interval setiap kelas jadi berbeda, yaitu 10–25, >25–41, > 41- 52, > 52 -66, dan > 66–85.

Natural breaks dilakukan dengan menentukan “breaks” di mana terdapat gap yang signifikan dalam data set kita.

Biasanya, gap ini didapatkan dengan melihat grafik seperti kurva frequensi atau histogram.

Perlu dipahami bahwa terdapat metode klasifikasi lain seperti menggunakan standar deviasi atau perhitungan area uder the curved (auc).

Pahami juga bahwa penggunaan metode klasifikasi yang berbeda pada data yang sama dapat membuat peta menjadi sangat berbeda.

Lihat gambar di bawah ini.

https://geospasialis.com/wp-content/uploads/2021/05/image-13.png

Lihat contoh di atas, perbedaan metode klasifikasi dan jumlah kelas dapat membuat tampilan peta sangat berbeda.

Yang terpenting saat melakukan klasifikasi, ingat kembali tujuan peta dan pahami benar fenomena atau objek yang ada dalam data tersebut.

Hindari melakukan klasifikasi data hanya berdasarkan tampilan visual saja, kecuali kamu memang benar-benar paham distribusi fenomena yang kamu petakan.

11. Simbolisasi (Cartographic symbolization)

Simbolisasi merupakan proses visualisasi data untuk menunjukkan informasi.

Simbol peta merupakan salah satu sumber informasi utama untuk pembaca peta.

Pada proses simbolisasi, data sering dapat mengalami generalisasi kembali.

Pertama, generalisasi terkait level pengukuran data tersebut.

Contoh dari proses ini, misalnya adalah pengubahan data kepadatan penduduk berdasarkan kabupaten yang berupa data angka menjadi kelas: kepadatan rendah, menegah dan kepadatan tinggi.

Kedua, perubahan dalam dimensi fitur.

Contohnya adalah perubahan bentuk kota yang di dunia nyata beragam bentuknya, menjadi bentuk titik pada peta kita.

Proses simbolisasi harus mempertimbangkan:

  1. Representasi dan dimensi data,
  2. Skala pengukuran data,
  3. Persepsi visual,
  4. Variable visual,
  5. Desain symbol
  6. Figure ground concept

Di bawah ini akan dijelaskan secara umum proses simbolisasi dalam kaitannya dengan pembuatan peta. Untuk penjelasan lebih rinci, akan saya tuliskan di tulisan yang terpisah.

Representasi data

Data spasial dapat dibedakan menjadi dua jenis:

  • Data raster
  • Data vektor

Data raster merepresentasikan data geografis melalui struktur grid yang disebut piksel (pixel: picture element). Data raster cocok untuk merepresentasikan data yang berubah secara gradual seperti kelembaban tanah dan kerapatan vegetasi.

Data vektor merupakan representasi data geografis dalam bentuk titik (point) yang memiliki informasi koordinat kartesian (x,y). Kumpulan titik dapat membentuk garis (line) dan poligon (polygon).

Data vektor dapat dibedakan menjadi:

  • Titik
  • Garis
  • Area/ polygon

Kenampakan di dunia nyata dapat digambarkan menggunakan data raster atau data vektor.

Memahami kedua jenis data ini akan sangat membantu dalam proses simbolisasi peta.

Kenampakan-kenampakan yang menunjukkan lokasi dapat digambarkan dengan data vector titik. COntohnya adalah lokasi temuan satwa, kejadian kecelakaan dan titik pengambilan sampel.

Simbol garis digunakan untuk merepresentasikan kenampakan yang berbentuk linear seperti sungai dan jalan.

Simbol garis juga dapat digunakan untuk menggambarkan jalur/ rute dan pergerakan.

Simbol area yang paling banyak ditemui adalah data yang terkait dengan administrasi seperti desa, kecamaatan, kabupaten dan provinsi.

Representasi dan dimensi data juga sangat terkait dengan skala peta.

Pada peta skala kecil, sungai digambarkan dengan garis. Namun pada pata skala besar, fenomena sungai ini dapat digambarkan menjadi data area.

Contoh lain ya.

Objek kota pada skala besar dapat digambarkan sebagai data polygon. Namun pada peta skala kecil, objek tersebut digambarkan dengan data titik.

Skala pengukuran data

Skala pengukuran atau level data dapat dibagi menjadi data:

  • Nominal
  • Ordinal
  • Interval
  • Rasio

Kita bahas satu per satu.

Nominal

Data nominal meupakan data kategorikal, biasanya berupa data klasifikasi atas sesuatu.

Data nomimal adalah data qualitative. Setiap kelas memiliki level yang sama.

Kita tidak bisa membandingkan kelas satu dengan yang lain secara matematis.

Contoh paling mudah untuk data ini adalah data penggunaan lahan.

Ordinal

Data ordinal merupakan data yang memiliki tingkatan di dalamnya.

Tingkatan biasa dibedakan secara kualitatif, missal dari kecil hingga besar, atau rendah hingga tinggi.

Perlu diingat bahwa data ordinal memang bisa dibandingkan secara qualitative, tetapi tidak secara quantitative.

Kita ambil contoh data hasil polling dengan tingkatan data: Sangat penting; Penting; Cukup penting; Tidak penting.

Kita dapat mengetahui bahwa kelas “Sangat penting” memiliki rangking yang lebih tinggi dengan kelas “Penting”.

Namun kita tidak bisa menghitung secara matematis perbedaan di antara kedua kelas tersebut.

Hal ini juga berlaku pada data angka, yang diambil secara qualitative.

Contohnya, respon kepuasan pengunjung sebuah layanan masyarakat, di mana responden menilai tingkat kepuasannya dengan memilih nilai dari nilai 1 sampai 9.

Di sini, meskipun data tersebut berupa data angka, kita tidak bisa langsung menghitung bahwa pengunjung yang memberi nilai 8, memiliki tingkat kepuasan dua kali lipat dari pengunjung yang memberi nilai 4.

Interval

Data interval (dan rasio) termasuk ke dalam data kuantitatif.

Cirinya, berupa angka yang memiliki nilai sehingga dapat dibedakan urutan, perbedaan, dan dapat diukur besar perbedaannya.

Data interval dicirikan dengan data yang tidak memiliki nilai nol (0) yang bermakna. Nilai nol dalam data ini tidak berarti bahwa tidak ada ada data, tapi memang nilai datanya seperti itu.

Kita ambil contoh suhu 0 derajat Celcius dan 5 derajat Celcius. Nilai 0 tidak berarti bahwa tidak ada suhu. Meskipun kita bisa melihat selisih dari dua pengukuran tersebut ( selisih 5 derajat), kita tidak bisa mengatakan bahwa suhu 5 derajat lebih panas 5 kali lipat dengan suhu 0 derajat.

Contoh:

  • data temperatur (Celcius, Fahrenheit)

Rasio

Data rasio memiliki karakteristik yang hampir sama dengan data interval.

Bedanya, data rasio memiliki nilai 0 yang bermakna. Nilai nol dalam data ini berupa nilai mutlak, dan tidak ada nilai negatif.

Berbeda dengan data interval, pada data rasio kita bisa mengatakan bahwa panjang 40cm itu dua kali lipat lebih panjang dari 20cm.

Tahu perbedaannya?

Contoh data rasio:

  • tinggi badan
  • berat badan.

Sebelum mulai menyimbolkan data kita, penting untuk menganalisis tingkat pengukuran data tematik yang kita petakan.

Jika kita gagal melakukannya, ada kemungkinan besar kita akan menggunakan metode simbolisasi yang salah dan membingungkan pembaca peta.

Persepsi visual

Persepsi visual:

  • Selectif
  • Asosiatif
  • Ordinal
  • Quantitatif

Variabel visual

Variabel visual merupakan karakteristik symbol yang dapat diubah-ubah dan dapat disesuaikan dengan tujuan peta.

Beberapa variable visual yang dapat digunakan adalah:

  • Posisi
  • Ukuran
  • Bentuk
  • Nilai (rona kecerahan)
  • Arah
  • Warna
  • Tekstur
  • Animasi (gerakan)

Desain simbol

Simbol memiliki fungsi yang sangat peting dalam mennyampaikan informasi peta kepada penggunanya.

Untuk itu, symbol peta harus didesain dengan baik.

Beberapa prinsip desain symbol pada peta antara lain:

  • Akurat merepresentasikan data
  • Terbaca dengan baik

Untuk membuat simbol yang akurat merepresentasikan data, kita harus kembali memperhatikan empat poin sebelumnya, yaitu dimensi data, level pengukuran data, variable visual, dan persepsi visual.

Kita bisa gunakan petunjuk di gambar di bawah ini:

https://geospasialis.com/wp-content/uploads/2021/05/image-12.png

Atau bisa juga menggunakan gambar di bawah ini:

https://geospasialis.com/wp-content/uploads/2021/05/image-16.png

Figure Ground Concept

Apa itu figure ground?

Figure-ground dalam pembuatan peta merupakan kemampuan peta untuk dapat dibedakan mana informasi utama dan mana backgroundnya.

Hal ini dapat dicapai dengan memperkuat kenampakan visual informasi-informasi utama (figure) dan mengurangi gangguan visual yang disebabkan oleh informasi lain yang berfungsi sebagai informasi kontekstual atau background (ground).

https://geospasialis.com/wp-content/uploads/2021/05/image-15.png

Beberapa pedoman yang bisa dilakukan untuk memperkuat figure-ground dalam peta antara lain:

  • Differentiation
  • Closed form
  • Centrality
  • Articulation
  • Good contour
  • Intellectual hierarchy

Differentiation

Visual differentiation dilakukan dengan menambah kekuatan visual informasi utama (figure), atau membuat ground menjadi datar-datar saja.

Untuk melakukan ini, komponen warna dan tekstur dapat digunakan.

Closed form

Pembaca peta cenderung melihat kenampakan yang tertutup di peta sebagai figure dalam peta tersebut.

Misal kita akan menunjukkan informasi tempat wisata di Kota Bogor.

Maka seluruh area Kota Bogor harus termuat di peta, tidak terpotong.

Centrality

Perhatian pengguna dan pembaca peta biasanya langsung tertuju pada informasi yang berada di tengah-tengah peta.

Untuk itu, letakkan informasi utama kita di bagian tengah dari peta.

Articulation

Untuk memperkuat artikulasi, saya biasanya menggunakan shading.

Misal, untuk membedakan daratan dan lautan, kita bisa memberikan shade atau vignette di tepi daratan, sehingga objek daratan akan lebih terlihat (jika informasi utama adalah daratan).

Good contour

Jika figure kita berupa garis isometrik, biasanya pembeda antara figure dan ground adalah intensitas kecerahan, atau warna.

Di sini, kita harus bisa memastikan pembaca peta selalu dapat mengikuti garis-garis tersebut sepanjang peta kita.

Intellectual hierarchy

Kita harus menyadari bahwa informasi-informasi yang kita tambahkan di peta memiliki nilai kepentingan yang berbeda-beda.

Jadi, kita harus mampu mengurutkan layer kita berdasarkan nilai informasinya.

Setelah itu, baru kita atur kekuatan visualnya sesuai dengan urutan nilai informasinya.

Untuk lebih memahami poin ini, silahkan kembali ke poin ke -7 mengenai Pemilihan data layer.

Jenis- jenis peta tematik berdasarkan simbolisasi

Untuk memudahkan proses pertimbangan simbolisasi, kita dapat pula langsung mengacu pada jenis-jenis peta tematik yang sudah ada dan telah banyak dipakai.

Jenis-jenis peta tematik ini antara lain:

Point distribution map/ dot map

Peta ini menunjukkan distribusi lokasi suatu fenomena yang ditampilkan dalam bentuk titik.

Simbol titik dalam peta ini menunjukkan lokasi fenomena tersebut berada.

Visual variable yang digunakan dalam peta ini adalah warna dan bentuk.

Titik dapat berupa informasi tunggal atau informasi kategorikal.

Contoh peta jenis ini adalah peta yang menggambarkan sebaran satu objek atau fenomena, misal perpustakaan seperti pada peta berikut.

https://user-images.githubusercontent.com/3466341/60743901-897ef400-9f41-11e9-81c5-1377aeaafd3f.png

Proportional symbol map

Saya menggunakan jenis peta ini untuk menampilkan informasi titik yang memiliki data berjenis ordinal, interval dan rasio.

Simbolisasi dilakukan menggunakan proporsi yang didasarkan dari suatu parameter dalam data tersebut.

Peta jenis ini juga saya gunakan untuk data berupa area.

Misal peta kejadian banjir berdasarkan kabupaten.

Untuk peta tersebut, saya menghitung frekuensi banjir yang terjadi di setiap kabupaten suatu provinsi pada kurun tahun tertentu.

Hasil perhitungan tersebut kemudian menjadi dasar simbolisasinya.

Di sini, lokasi titik kemudian menjadi tidak merepresentasikan di mana lokasi tepatnya banjir terjadi, tetapi mencermikan banyaknya banjir yang terjadi pada suatu waktu tertentu.

Lokasi titik kemudian berubah menjadi lokasi konseptual, biasanya terletak di tengah-tengah setiap kabupaten.

Sebagai contoh, lihat peta konsumsi minyak bumi berdasarkan negara bagian berikut.

https://mappingignorance.org/app/uploads/2013/12/Figure-11.jpg

Sumber: mappingignorance.org

Isoline/ isarithmic map

Peta ini menampilkan isoline, yaitu garis-garis yang memiliki nilai yang sama suatu fenomena.

Contoh termudah untuk menunjukkan peta jenis ini adalah peta curah hujan.

http://imagedata.cafe24.com/us_hi/us_hi_17-2.jpg

Flow map

Flow map menggunakan fitur garis untuk menunjukkan pergerakan fenomena dari dan ke lokasi tertentu.

Variabel visual yang biasanya digunakan adalah ukuran, yaitu dengan membuat variasi lebar/ tebal garis.

Variasi untuk data nominal dapat ditempuh dengan menggunakan warna dan pola, missal dengan membuat garis dengan perbedaan dash-nya (sambung atau putus-putus dan variasinya)

https://www.e-education.psu.edu/geog486/sites/www.e-education.psu.edu.geog486/files/Lesson_05/Images/5.8.1.PNG

Choropleth map

Ini adalah jenis peta yang paling banyak dipakai.

Peta kloroplet menunjukkan nilai dari semua area dalam peta, berdasarkan unit area tertentu.

Unit area yang paling banyak digunakan adalah area administrative seperti desa, kecamatan, kabupaten dan provinsi.

Namun, bisa juga unit area yang digunakan spesifik terhadap tema petanya. Misal peta penutup/ penggunaan lahan, peta jenis tanah, atau kerapatan vegetasi.

https://blog.stata.com/wp-content/uploads/2020/04/covid19_map2.png

Dasymetric map

Peta dasimetrik memiliki karakterisitik yang hampir sama dengan peta koroplet.

Peta dasimetrik adalah suatu metode dalam peta tematik, yang menggunakan simbol area untuk mengklasifikasikan data volume secara spasial.

Peta dasimetrik dapat menempatkan data populasi ke tempatnya secara spesifik.

Artinya simbolisasai peta hanya ditempatkan pada daerah yang bersangkutan dan buka seluruh wilayah.

Berikut contohnya.

https://jamesjgleeson.files.wordpress.com/2013/01/dasymetric-map.png?w=660&h=466

Lihat perbedaan peta kloroplet dan dasimetrik melalui contoh gambar di bawah ini. Gambar sebelah kiri merupakan peta koroplet, dan sebelah kanan adalah peta dasimetrik. Kedua peta ini menggunakan data yang sama.

https://www.researchgate.net/profile/Milan-Kilibarda/publication/259479214/figure/fig2/AS:297126597808138@1447851909281/Choroplet-map-left-and-dasymetric-map-right-depicting-population-density-for-the-year_W640.jpg

Prism map

Prism map menggunakan variable visual perspektif ketinggian untuk menampilkan informasi.

Untuk membuatnya, pertama lokasi fenomena dijadikan informasi lokasi (x, y), kemudian informasi tematiknya dijadikan informasi ketinggian (z).

Oleh karena itu, peta ini dapat dikelaskan sebagai peta 2.5D atau peta 3D.

https://i.redd.it/ylzh4iogirc11.jpg

12. Lettering (teks dalam peta)

Lettering atau teks dalam peta di sini adalah teks yang terdapat pada badan peta, bukan yang terdapat pada informasi tambahan (judul, legenda, dll)

Jenis teks pertama yang ada di peta adalah teks berupa toponim.

Toponim merujuk pada nama-nama dalam peta kita.

Toponim berfungsi sebagai penunjuk letak peta kita yang sangat berfungsi pada peta topografik seperti peta rupa bumi.

Pada peta tematik, toponim berfungsi memberikan konteks lokasi yang membantu pembacaan informasi tematik peta kita.

Jenis teks kedua adalah teks yang menunjukkan karakter dari objek, biasanya lebih dikenal dengan label.

Dalam proses ini, biasanya saya menjawab tiga pertanyaan berikut:

  • Perlukah menambahkan toponim dan apa saja yang dimunculkan?
  • Layer apa saja yang perlu ditambahkan informasi berupa label?
  • Bagaimana penggambaran atau styling teks?

Perlukah menambahkan toponim dan apa saja yang dimunculkan?

Pertanyaan ini dijawab dengan melihat tujuan dan jenis peta yang sedang kita buat.

Untuk peta topografik atau general purpose map, informasi terkait toponim sebaiknya sebisa mungkin ditampilkan semuanya.

Hal ini untuk membantu memudahkan pembacaan peta.

Untuk peta tematik, toponim bisa jadi minimal atau bahkan tidak perlu.

Toponim pada peta tematik diperlukan untuk menunjukkan konteks lokasi.

Jadi peta yang lokasinya sudah sangat dipahami oleh pembaca tidak memerlukan toponim lagi.

Misal, peta yang menunjukkan kenampakan seluruh bumi, biasanya tidak memerlukan toponim.

Seperti peta yang menunjukkan jumlah pengguna internet berdasarkan negara. Dalam peta ini, nama negara tidak perlu ditampilkan sebagai label.

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/d/df/Internet_users_by_country_world_map.png

Toponim perlu ditunjukkan untuk peta-peta yang ditujukan untuk orang yang belum tahu konteks lokasinya.

Contohnya, peta area kajian dalam paper ilmiah, yang daerah kajiannya merupakan daerah yang belum banyak dikenal oleh orang banyak.

Layer apa saja yang perlu ditambahkan informasi berupa label?

Biasanya, sebisa mungkin hal ini tidak perlu dilakukan.

Sebisa mungkin kita gunakan variable visual untuk menjelaskan fenomena yang kita petakan.

Hal ini dilakukan untuk menghindari double symbol, atau penambahan symbol yang tidak perlu yang hanya membuat peta semakin padat dan tidak mudah dibaca.

Kita memerlukan label, biasanya untuk peta sintetik, yang memiliki banyak informasi tematik di dalamnya.

Hal ini cukup sering saya lakukan.

Saat saya harus menampilkan lebih dari lima layer tematik dalam peta, biasanya ada satu atau dua layer yang sudah tidak optimal lagi jika kita harus memaksakan menggunakan symbol peta.

Di sinilah biasanya label diperlukan.

Label juga dapat digunakan untuk menegaskan kembali pentingnya fenomena.

Contoh penggunaan label dalam peta adalah dalam peta geologi yang diterbitkan oleh Direktorat Geologi.

https://rovicky.files.wordpress.com/2010/08/geo_map_yogyakarta1.jpg

Dalam peta tersebut, variabel warna digunakan untuk menunjukkan formasi geologi, dan tekstur/ pola digunakan untuk jenis batuan.

Ditambah banyaknya informasi berupa titik dan garis, maka label informasi formasi geologi ditambahkan untuk memudahkan proses pembacaan peta.

Bagaimana penggambaran atau styling teks?

Teks dalam peta memiliki karakteristik yang unik, jika dibandingkan dengan, katakanlah teks di buku.

Apa saja keunikannya?

  • Pertama, teks dalam peta hanya menampilkan kata, bukan kalimat.
  • Kedua, biasanya memuat kata atau yang cenderung tidak familiar untuk orang awam.
  • Ketiga, teks dapat memiliki variasi dalam hal spacing.
  • Keempat, teks tidak selalu horizontal, bisa vertical, miring atau bahkan memiliki bentuk sesuai objek yang diwakilinya (missal nama sungai).
  • Terakhir, teks dalam peta biasanya ditempatkan di sebuah garis, warna latar dan pola atau teksture tertentu.

Beberapa karakteristik tersebut sangat terkait dengan tuntutan bahwa teks dalam peta harus sangat mudah diidentifikasi, dan dibaca.

Hal ini sangat krusial untuk dipertimbangkan, apalagi kalau kita sedang membuat peta versi cetak.

Untuk mencapai hal tersebut, beberapa kondisi yang bisa dilakukan adalah dengan memenuhi:

  • Teks harus bisa menunjukkan hirarki objek, mampu menunjukkan mana yang lebih penting dan mana yang lebih tidak penting; juga menunjukkan tingkatan tomponim (missal desa-kecamatan-kabupaten-provinsi)
  • Teks harus bisa menggambarkan perbedaan kategorikal (untuk data nominal)
  • Teks harus selalu dapat terbaca sebagai penjelas objek titik, garis dan area yang diwakilinya.

Selanjutnya, mari kita lihat aspek di atas satu persatu.

Untuk memenuhi persyaratan tentang hirarki, variable yang dapat kita gunakan antara lain:

  • Variasi ukuran teks
  • Variasi ketebalan teks
  • Variasi jarak antar huruf
  • Variasi kecerahan warna
  • Variasi antara huruf capital dan huruf biasa.

Lalu, perbedaan kategorikal dapat diciptakan melalui:

  • Variasi warna teks
  • Variasi style/ shape dari font
  • Variasi roman vs italic

Berikut contohnya.

https://geospasialis.com/wp-content/uploads/2021/05/image-18.png

Teks berdasarkan objek geografis yang diwakilinya

Teks pada objek titik seperti objek kota, ditempatkan di dekat objeknya, biasanya di samping kanan, atau diletakkan agak ke atas/ ke bawah.

Teks pada objek linier seperti sungai, biasanya mengikuti garis (bahkan mengkuti lengkungannya), diletakkan sedikit di atas atau di bawah garis.

Untuk objek berupa area atau poligon, kita harus memperhatikan cakupan dan luasan dari poligon tersebut.

Adanya batas dan luasan area ini membuat pilihan penempatan teks menjadi semakin banyak. Hal yang harus diperhatikan adalah teks tersebut harus selalu terbaca tepat dengan objek yang diwakilinya.

Berikut contoh lettering dalam sebuah peta.

https://www.instagram.com/p/CBI8cKNJ5O6/?utm_source=ig_embed&ig_rid=7c1d4cda-022b-4563-847e-f90a27b57f1f

Boleh lho, sekalian di-follow IG-nya.

13. Elemen peta

Untuk melengkapi informasi, peta juga ditambahkan elemen-elemen peta.

Elemen-elemen peta tersebut adalah:

  1. Judul peta
  2. Skala
  3. Penunjuk mata angin
  4. Grid Koordinat
  5. Legenda
  6. Informasi proyeksi
  7. Sumber dan sitasi data
  8. Inset peta
  9. Informasi pembuat dan penerbit peta

10. Informasi tambahan lainnya.

Apakah sebuah peta harus selalu memuat semua elemen di atas?

Jawaban saya: Tidak.

Penjelasannya seperti ini:

Seperti yang saya jelaskan dari awal artikel, beberapa hal pertama yang harus kita perhatikan adalah tujuan, pembaca, dan media peta.

Sekarang mari kita terapkan tiga pertimbangan tersebut untuk menentukan elemen peta yang akan kita masukkan.

Tujuan: menunjukkan daerah kajian penelitian (Misal: Kota Surabaya)

Media peta: paper di jurnal internasional

Pembaca: mahasiswa, peneliti (dari seluruh dunia)

Untuk keperluan seperti ini, hal yang paling penting untuk kita tunjukkan adalah LOKASI.

Saya mungkin tidak memerlukan judul peta, sumber data, dan informasi mengenai sistem koordinat atau proyeksi.

Saya akan menggunakan beberapa tingkatan inset peta, mulai dari menunjukkan Negara Indonesia, lalu Pulau Jawa, baru kemudian menunjukkan lokasi Kota Surabaya sebagai muka peta utama.

Dengan menggunakan proses yang sama, kita bisa mengaplikasikan proses ini ke dalam peta apapun.

Selalu ingat, bahwa kita tidak perlu menampilkan semua element peta.

Justru sebaliknya, lakukan seminimal mungkin.

Hanya tampilkan elemen-elemen yang benar-benar dibutuhkan pembaca untuk memahami peta kita.

14. Informasi tambahan

Untuk memperjelas pembacaan peta atau melengkapi informasi peta, informasi tambahan dapat dicantumkan.

Sekali lagi, penambahan informasi pelengkap ini harus disesuaikan dengan tujuan, pembaca dan media peta.

Beberapa informasi tambahan yang dapat ditambahkan dalam peta adalah:

  1. Gambar
  2. Foto
  3. Tabel
  4. Grafik dan diagram
  5. Narasi

15. Layout dan desain peta

Proses terakhir yang kita lakukan adalah proses layout dan desain peta.

Layout dan desain sebuah peta, sekali lagi dipengaruhi oleh tujuan, pembaca dan media peta.

Peta dapat di desain agar terlihat formal untuk keperluan-keperluan resmi.

Biasanya peta-peta resmi keluaran pemerintah sudah memiliki aturan-aturan baku dalam penyusunan layout peta, informasi yang harus ditampilkan, bahkan pengaturan simbolnya.

Selain itu, dapat pula didesain agar terlihat lebih santai.

Desain peta sangat terkait dengan bagaimana layer-layer disusun dan diharmonisasikan.

Layout peta dapat dibagi menjadi:

  • Tipe frame map
  • Tipe island map
  • Tipe bleeding edge map

Frame map

Tata letak peta dari tipe ini memiliki kerangka/garis batas luar yang mengelilingi muka peta.

Garis batas tepi ini mempunyai fungsi memisahkan antara muka peta dengan informasi tepi secara jelas.

Contoh layout frame map:

Island map

Tipe tata letak peta yang lebih konvensional dari frame adalah Island Map. Batas area yang dipetakan berfungsi sebagai batas garis (frame). Tipe ini memberikan keleluasaan pada kita untuk merancang tata letak peta yang menyesuaikan bentuk area kajian.

Contoh layout peta tipe pulau:

https://i1.wp.com/sulut.bpk.go.id/wp-content/uploads/2009/03/sulut.jpg?ssl=1

Bleeding Edge Map

Tata letak peta tipe ini mempunyai informasi sampai pada batas potongan dari area peta, dengan kata lain tidak mempunyai kerangka peta (frame)

Contoh tipe bleeding edge map:

https://geopoliticalfutures.com/wp-content/uploads/2019/04/mexico-state-household-income-1024x697.jpg

Bagaimana cara membuat desain layout peta?

Pertama, selalu cek apakah ada template tertentu yang harus diterapkan pada peta kita.

Ada beberapa peta yang telah memiliki standard dan memiliki landasan hukum berupa peraturan yang mengatur bagaimana layout dan desain petanya.

Kita ambil Peta Desa sebagai contoh.

Peta ini telah diatur dalam Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 3 Tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta Desa.

Kalau sudah begini, tugas kita jadi lebih mudah. Yaitu tinggal mengikuti pedoman yang sudah ada.

Selain itu, cek kembali jika memang organisasi/ lembaga/ universitas punya preferensi tertentu.

Karena meskipun tidak tertulis secara eksplisit, biasanya layout dan desain peta dapat pula menjadi “trademark” organisasi tempat kita bekerja.

Sebagai contoh, lihat Petunjuk Teknis Penggambaran dan Penyajian Peta Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dipakai sebagai pedoman Kementerian LHK.

Kedua, lakukan semua tahap atau langkah yang tertulis dalam artikel ini.

Panjang memang.

Tetapi ini sudah saya usahakan untuk dapat disajikan sependek mungkin.

Dengan mempertimbangkan setiap aspek, proses terakhir dalam melakukan layout dan desain peta akan menjadi lebih mudah.

Gunakan prinsip attention flow

Kita tidak dapat memaksa untuk membaca peta dalam urutan tertentu sesuai yang kita inginkan.

Tetapi kita bisa membuat desain yang dapat secara halus mempengaruhi aliran perhatian.

Dengan begini, kita bisa mengarahkan perhatian pembaca sesuai kehendak kita.

Idealnya dari kiri atas, ke kanan bawah.

Bagaimana caranya?

Lanjut baca untuk mengetahui caranya.

Hirarki visual

Hirarki visual merupakan salah satu cara untuk mempengaruhi perhatian pembaca peta.

Terdengar sulit?

Sebenarnya tidak.

Kita cukup perlu menyusun setiap elemen di peta kita sesuai dengan seberapa penting elemen tersebut untuk pembaca.

Prinsip ini mirip dengan prinsip figure ground dalam simbolisasi peta.

Sebagai panduan awal, gunakan gambar di bawah ini.

Keseimbangan

Keseimbangan adalah perasaan tata letak yang didistribusikan secara merata ke seluruh halaman.

Prinsip ini cukup sulit untuk dijelaskan.

Tetapi bisa jadi cukup mudah dikenali.

Biasanya kita bisa langsung tahu kalau sebuah peta sudah seimbang atau tidak seimbang.

Cara untuk membuat sebuah peta “seimbang” adalah dengan mengatur elemen yang merata dan simetris.

Selain itu, kita bisa mainkan ukuran, posisi, dan jarak antar elemen untuk memaksimalkan estetika peta kita.

Keteraturan

Untuk menggunakan prinsip ini, unsur-unsur peta dapat diatur dengan menyusunnya secara simetris, misal dengan menggunakan garis bantu.

Atau yang lebih sering dilakukan, adalah dengan memisahkan muka peta di satu “kotak” utama. Lalu elemen peta yang lain di informasi tepi.

Dengan bantuan kotak-kotak dan garis-garis, pastinya peta akan terkesan lebih rapi.

Namun juga sering nampak membosankan.

Maka, kadang-kadang kita perlu membuat ketidakteraturan, tetapi tetap menarik.

Caranya dengan memperhatikan prinsip harmoni.

Harmoni

Kita dapat menggunakan prinsip ini dengan cara melihat semua elemen peta kita sebagai suatu kesatuan.

Bukan melihatnya satu-persatu.

Prinsip ini seperti secara bersama-sama menggunakan prinsip hierarki visual, keseimbangan, dan keteraturan.

Semakin banyak peta yang kita buat, skill kita terkait harmonisasi elemen peta akan semakin terasah.

Bonus Tips

Beberapa tips yang bisa saya berikan antara lain:

Cari informasi sebanyak-banyaknya

Sebagai pembuat peta di tempat kerja, salah satu tugas saya adalah melayani orang lain untuk membuatkan peta untuk mereka.

Di sini, proses diskusi menjadi sangat penting.

Sebaiknya kita melakukan diskusi dan tanyakan detil tujuan, media dan pembaca peta.

Atau bisa lebih jauh lagi, tanyakan juga jika ada kemauan yang lebih spesifik, missal terkait ukuran peta, desain symbol, hingga pallete warna.

Atau paling mudah, tanyakan jika ada peta referensi yang bisa kita “tiru”.

Diskusi dengan ahlinya

Kita tidak bisa memungkiri bahwa kita tidak bisa menjadi seorang ahli dalam berbagai hal.

Di sinilah proses diskusi ini menjadi berguna.

Dengan berdiskusi dengan ahli terhadap fenomena yang dipetakan, kita pasti akan membuat peta yang lebih efektif dan representative.

Misal, saat saya membuat peta distribusi satwa harimau, maka berdiskusi dengan ahli ekologi atau biologi akan menjadi sangat berguna.

Saya bisa menanyakan banyak hal terkait dengan habitat dan ekologi harimau untuk memastikan peta yang saya buat dapat menampilkan informasi yang akurat dan representative.

Di waktu yang lain, ketika saya diminta untuk membuat peta untuk keperluan infografis, berdiskusi dengan teman yang ahli dalam bidang desain komunikasi visual akan sangat membantu.

Cari inspirasi sebanyak-banyaknya

Telah banyak peta dibuat.

Peta yang baik maupun yang tidak.

Semakin banyak kita melihat peta, semakin banyak inspirasi yang kita dapat.

Beberapa situs yang dapat digunakan sebagai sumber inspirasi antara lain:

Maps We Love

https://geospasialis.com/wp-content/uploads/2021/06/image.png

New Look of National Park Service Maps

http://www.shadedrelief.com/realism/wilson.jpg

Buat sketch terlebih dahulu

Seperti pembuat poster, infografis dan produk desain lainnya, sketsa awal dalam proses pembuatan peta akan membantu dalam berbagai hal.

Sketsa dapat dibuat bersama orang yang request peta, orang yang ahli dalam bidang yang dipetakan, atau dibuat sendiri.

Sketsa memudahkan kita agar konsep peta yang kita buat sudah fix sejak awal, sehingga kita tidak terlalu banyak melakukan proses coba-coba dalam setiap tahap pembuatan peta.

Sketsa memudahkan kita berkomunikasi dengan orang-orang di bidang lain yang terkait dalam pembuatan peta tersebut.

Check dan recheck

Beberapa pertanyaan yang dapat kita ajukan dalam proses ini antara lain:

Apakah peta sudah dapat terbaca dengan baik?

Apakah peta sudah sesuai dengan tujuan peta dibuat?

Apakah peta menimbulkan makna ganda atau tersirat?

Apakah informasi tepi peta tidak lebih menonjol daripada petanya?

Apakah informasi tepi yang kita tambahkan telah efektif memudahkan proses membaca peta?

Minta feedback

Jangan lupa minta feedback.

Orang pertama yang bisa kita mintai feedback adalah orang yang meminta kita membuat peta.

Atau bisa juga kita minta feedback terhadap kartografer yang lebih senior dan berpengalaman.

Atau bisa juga kita minta feedback terhadap teman kita yang awam soal pemetaan dan pembuatan peta, untuk memastikan bahwa peta kita benar-benar mudah dibaca dan dimengerti, atau tidak.

Untuk proses ini, ajukan kembali pertanyaan-pertanyaan pada poin sebelumnya.

Mas, kok bikin peta jadi ribet sih?

Ya memang begitu.

Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, dan proses yang perlu dilewati.

Semakin dalam pemahaman kartografi dan semakin banyak pengalaman pembuat peta, maka semakin cepat pertimbangan-pertimbangan dan proses-proses tersebut dilewati.

Kadang-kadang, kami pembuat peta juga sering merasakan hal-hal yang sering dialami teman-teman dari desain grafis.

Kita sering hanya dikaitkan dengan kemampuan mengoperasikan software, pengetahuan dan kemampuan konseptual kita sering diabaikan.

“Eh, dirimu kan bisa Corel, bikinin logo dong.”

“Eh, dirimu kan jago Photoshop, editin foto dong”

Akan terdengar sama dengan,

“Mas, bisa ArcGIS kan, buatkan peta ya.”

Apalagi jika ada tambahan:

“Hari ini jadi, bisa kan?”

PS:

Tulisan ini dibuat berdasarkan pengalaman dan pengetahuan saya. Jika ada yang memiliki tips lain atau ada yang terlewat dalam tulisan ini, tentu saya akan sangat senang untuk berdiskusi.

Silahkan tulis tips, masukan atau pertanyaan di kolom komentar dan mari berdiskusi.

--

--

Sadd Hussein
Sadd Hussein

Written by Sadd Hussein

Remote Sensing, GIS, Cartography, Geospatial Analysis, Geography, Wildlife Conservation

No responses yet